ke Candi Cangkuang…
Pernah
mendengar nama Candi Cangkuang? Itu, lho… candi yang ada Garut. Tepatnya sih di
Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Nah… Desa
Cangkuang ini dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat. Antara lain
Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Rhandy
pernah ke sana
tuh sama Mama dan Bapak. Mau tahu enggak ceritanya? Mau aja deh, ya…? Lumayan
seru lah!
Jadi ceritanya gini… suatu hari (24 Maret
2012), singkat cerita Rhandy, Mama dan Bapak udah ‘jleg’ aja di depan plang
merah yang bertuliskan “Selamat Datang di Cagar Budaya Candi Cangkuang”. Habis
gitu… ya beli tiket masuk dong. Untuk dewasa Rp 3.000, anak-anak Rp 2.000. Murah
banget, ya? Kalau bule sih… Rp 5.000.
Begitu masuk, eh… ternyata enggak langsung
ada candinya. Tapi untuk mencapai Candi Cangkuang itu harus naik Getek dulu. Dan
untuk naik Getek, bayar lagi Rp 10.000 dulu per orang. Baiklah…
Bentar, bentar… tahu enggak apa itu Getek? Bukan, bukan ‘geli’ apalagi
‘gatal-gatal’… itu mah jamur atuh. DAH, JAMUR!!! Getek itu… semacam rakit yang
terbuat dari bambu dan ada atapnya, dan dikendalikan dengan sebilah bambu yang
panja…aaang sekali. Kalau sekilas sih mirip saung yang bisa berjalan eh…
berlayar!
Hmmmfhhh… baru duduk di bangku bambu
geteknya saja, waaah… sudah terlihat pemandangan danaunya terhampar luas. Karena
saking asyiknya melihat-lihat alam sekitar, menyeberangi danau pun jadi enggak kerasa… tahu-tahu udah sampai
lagi. Cepat banget! Lebih cepat dari bayangan Lucky Luke!
Hohoho… Rhandy senang banget naik Getek! Seru,
katanya. Meski pertamanya agak-agak gimana. Mama juga, agak-agak gimanaaa gitu.
Gimana-gimana terus. Bukan takut naik
Geteknya, tapi karena di dasar geteknya itu kan rada-rada terbenam air. Kaki harus rada
diangkat dikit. Soalnya pas dilihat… ughhh ada banyak binatang air yang
kecil-kecil tapi suka merayap! Mirip-mirip kalajengking… tapi bukan sih.
Mungkin… kalajengkol, hihihi.
(Sssh... tapi kalau pas pulangnya sih udah
terbiasa, Rhandy malah bergaya di atas Getek, liat aja tuh fotonya. Hehehe, gaya n ganteng juga ya
anak Mama & Bapak ini. Towewewew!)
Ke Pemukiman
Adat Kampung Pulo Dulu, Ya...
Tak lama kemudian… setelah tiba di tepi daratan.
Tebak ada apa? Ya, 100! Ada
pemukiman adat Kampung Pulo (yaheyalah liat judul…). Jadi, sebelum mencapai
Candi Cangkuang… Rhandy, Mama, dan Bapak harus melewati Kampung Pulo dulu.
Perkampungan ini ternyata sebuah kampung
kecil. Super kecil. Iya, super kecil… karena satu kampung itu cuma 6 buah rumah
dan 6 kepala keluarga. Susunan kampungnya itu… 3 rumah di sebelah kiri dan 3
rumah di sebelah kanan, yang saling berhadapan. Terus, ada 1 masjid di sana.
Bapak memotret-motret kampung ini dari
berbagai arah. Kadang dari balik semak-semak. Heiiiy, ngapain sampai ke
semak-semak segala, ya? Hihihi. Begitu ada seseorang yang bisa ditanya-tanya,
Bapak ajak ngobrol n tanya-tanya deh tuh. Lalu… mereka mulai bergosip. Gosip is
Garut Oh SIP! Hahaha… bisa aja
ya Mama. Bisa, dooong! J
Dan Mama hawar-hawar mendengar gosipan
mereka…
Gini… katanya nih, sudah menjadi ketentuan
adat, jumlah rumah dan kepala keluarga itu HARUS 6 orang. Lalu, kedua deretan
rumah itu tadi enggak boleh ditambah ataupun dikurangi. Nah, lho! Gimana atuh
kalau nanti-nanti ada penghuni yang mau menikah atau punya anak? Kan bisa bertambah,
kaaan…
Ini dia penjelasannya: Jika
seorang anak sudah dewasa kemudian menikah… paling lambat 2 minggu setelah
pernikahan, harus meninggalkan rumah dan keluar dari lingkungan rumah adat Kampung
Pulo ini. Naaah… tapi ia bisa kembali ke rumah adat, bila salah satu keluarga ada
yang meninggal dunia, dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas
pemilihan keluarga setempat. Gitu…
Coba kita lihat foto nini-nini ini.
Namanya Nini Ijah. Nini Ijah itu penghuni
tertua di Kampung Pulo! Wow!
Abis itu… Rhandy malah pengen cepat-cepat
lihat Candi Cangkuangnya. Rhandy tuh kalau jalan, maunya paling depaan terus.
Ninggalin Mama dan Bapak. Rhandyyyy… heiii, tungguuu!!!
H E I I I I I I...
T U N G G U ...
R H A N D Y Y Y!
Museum Candi Cangkuang
Candi Cangkuang
semakin dekat. Tapi sebelum mencapai candinya, ke museum dulu. Museumnya sih
kecil. Tapi pasti sejarahnya besa…aar. Di dalam museum ada koleksi naskah kuno.
Naskah Alquran, lukisan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, foto-foto pemugaran dan benda-benda bersejarah lainnya.
Naskah Alquran, lukisan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, foto-foto pemugaran dan benda-benda bersejarah lainnya.
Sementara Bapak
ngobrol-ngobrol sama guide museumnya,
Rhandy dan Mama duduk-duduk istirahat di teras museum sambil buka perbekalan.
Minum susu, sluuurrrp… sluuurrrp! Makan cemilan, nyam, nyam, nyam! Dan… foto-foto
narsis… cheers! Lihat tuh, Rhandy difoto tapi sambil nyobain peluit yang dibeli
sebelum naik Getek tadi!
Hehehe! Tadi belum
terceritakan ya tentang peluitnya! IYA! Suara peluitnya kalau ditiup tuh bodor,
aneh, sekaligus superkreatif pisan! Kayak suara tangisan bayi yang rungsing: houweeek,
houweeek! Padahal, bahan-bahan peluitnya paling juga terbuat dari bekas tutup
botol sama sendal… bekas!
Heeeiy, bekas? Iiiih, bekas jalan-jalan ke mana aja
yaaa??? (#siapkan karbol, densol, lisol, alkohol, risol sama… jengkol???).
Pssst, ada Makam Eyang Mbah Dalem Arif
Muhammad…
Assalamu’alaikum… iya, di sini ada makam
Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad. Nih, ada fotonya. Sejarahnya gini… katanya,
Eyang dkk beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga
terjadi sebuah danau bernama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII.
Wow, udah lama banget, ya!
Embah Dalem Arif Muhammad dkk berasal dari
Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di
Batavia, sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang.
Waktu itu, di Kampung Pulo sudah dihuni
oleh penduduk yang beragama Hindu. Tapi, lama-lama… Embah Dalem Arif Muhammad
mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam. Alhamdulillah, ya…
sesuatu....
Aaakhirnyaaah…
Rhandy, Mama, dan Bapak sampai juga di Candi Cangkuang!
Hmmm, Candi Cangkuang itu ternyata tidak
begitu besar. Tepatnya… kecil, hehehe! Dasarnya itu berbentuk bujur sangkar
berukuran 4,5 X 4,5 meter. Terus, tinggi candi sampai ke puncak atap… 8,5
meter. Bentuknya bersusun-susun gitu deh. Di sepanjang tepian setiap susunan ada
hiasan semacam mahkota-mahkota kecil. Lihat… Mama, Rhandy, dan Bapak langsung
foto-foto deh bergantian. Lalu melipir-lipir ke sisi kiri candi, dan… jepret,
foto lagi. Keren kan
foto-fotonya…
Eh… di
dalam candinya ada ruangan kecil dan gelap. Tapi dipagari teralis besi yang
terkunci. Wuaaah… ada arca Syiwa!
Oh… Ini yang Namanya Pohon Cangkuang. Baru
Tahu…
Kita baru tahu, nama ‘Cangkuang’ itu
diambil nama tanaman sejenis pandan, lho. Tanaman Cangkuang ada di
sekitar museum.
Yeaaay! Rhandy Beli Souvenir!
Kalau habis
wisata-wisata itu, kayaknya ada yang kurang kalau belum beli oleh-oleh khas
tempat yang dikunjungi, ya kan?
IYA aja dwehhh! Enggak jauh dari lokasi Candi Cangkuang banyak penjual-penjual
souvenir. Ada
tas, dompet, gantungan kunci, candi cangkuang ukuran mini, topi, patung domba
Garut, ada juga getek-getekan hehehe… maksudnya Getek dalam bentuk mini! Mama
sih beli topi-topi. Kalau Rhandy? Ya beli Getek mini dongsss!***
Ternyata mau jungkirrr... kok bisa ya hehehe! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar