Jumat, 19 Juli 2013

Pertanyaan Rhandy...


 
… tentang Rambutnya



Rhandy itu sejak kecil sudah banyak bertanya. Ada-ada saja pertanyaannya. Kalau ia sedang bertanya itu, wajahnya seriuuuus banget! Tapi, Mama itu sering tertawa dalam hati dan luar hati hahaha! Habis lucu sih. Kurang lebih kayak cerita berima di bawah ini nih… 


 
Rhandy adalah anak yang sering bertanya.
Tidak hanya sering. Tapi seri…iiing sekali!
Pertanyaannya, membuat seisi rumah ternganga.
Pertanyaannya, membuat seisi rumah tertawa geli.


 
“Mama, mengapa rambutku tidak berlubang?”
“Bagaimana  kalau rambutku seperti selang?”
“Mama, mengapa rambutku berbentuk lingkaran?”
“Bagaimana kalau rambutku jajaran genjang?”





Hihihi… pertanyaannya lucu sekali, bukan?
Pssst, kalau Rhandy bertanya, jangan ditertawakan.
Ia kan tidak sedang melucu. Ia hanya ingin banyak tahu.

Baiklah, pertanyaan Rhandy akan Mama jawab dulu…



 “Rambut Rhandy tak berlubang, 
karena bukan selang.
Andai rambutmu selang, 
kepalamu takkan kuat menahan beban.

Rambut Rhandy lingkaran, karena rambutmu memang keriting.
Kalau rambutmu jajaran genjang, pasti rambutmu jadi miring.”





Rhandy tersenyum riang mendengar jawaban Mama.
“Hahaha, iya andai rambutku seperti selang, berat juga ya!
Apalagi kalau selangnya keriting dan banyak airnya!”
Rhandy membayangkan itu, lalu memeluk Mama dengan manja.


Tiba-tiba, Rhandy turun dari pangkuan Mama, hap! 

Tapi ia mendekat lagi, lalu bertanya lagi pada Mama,

“Ma, bagaimana ya kalau gajah bersayap?”

Wah, wah, wah… kira-kira apa jawaban Mama?

  


Rhandy menunggu jawaban Mama, 
dengan wajah lucu.

Mata kecilnya menyipit, pipi gembulnya semakin maju.

Hahaha, Mama malah bertanya lagi pada Rhandy yang lucu.

“Bagaimana kalau gajah itu hinggap di rumah kita, yeuuu?”




 
3…     2…      1…

G E D U M B R E E E N G!

 “Hahaha!” Rhandy dan Mama tertawa bersama.
(Mama)

Kamis, 18 Juli 2013

Jalan-Jalan di Kota Garut


Saat Rhandy 
ke Candi Cangkuang…

Pernah mendengar nama Candi Cangkuang? Itu, lho… candi yang ada Garut. Tepatnya sih di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Nah… Desa Cangkuang ini dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat. Antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Rhandy pernah ke sana tuh sama Mama dan Bapak. Mau tahu enggak ceritanya? Mau aja deh, ya…? Lumayan seru lah!
Jadi ceritanya gini… suatu hari (24 Maret 2012), singkat cerita Rhandy, Mama dan Bapak udah ‘jleg’ aja di depan plang merah yang bertuliskan “Selamat Datang di Cagar Budaya Candi Cangkuang”. Habis gitu… ya beli tiket masuk dong. Untuk dewasa Rp 3.000, anak-anak Rp 2.000. Murah banget, ya? Kalau bule sih… Rp 5.000.


Serunya, Rhandy Naik Getek…

Begitu masuk, eh… ternyata enggak langsung ada candinya. Tapi untuk mencapai Candi Cangkuang itu harus naik Getek dulu. Dan untuk naik Getek, bayar lagi Rp 10.000 dulu per orang. Baiklah…

Bentar, bentar… tahu enggak apa itu Getek? Bukan, bukan ‘geli’ apalagi ‘gatal-gatal’… itu mah jamur atuh. DAH, JAMUR!!! Getek itu… semacam rakit yang terbuat dari bambu dan ada atapnya, dan dikendalikan dengan sebilah bambu yang panja…aaang sekali. Kalau sekilas sih mirip saung yang bisa berjalan eh… berlayar! 


Hmmmfhhh… baru duduk di bangku bambu geteknya saja, waaah… sudah terlihat pemandangan danaunya terhampar luas. Karena saking asyiknya melihat-lihat alam sekitar, menyeberangi danau pun  jadi enggak kerasa… tahu-tahu udah sampai lagi. Cepat banget! Lebih cepat dari bayangan Lucky Luke!



Hohoho… Rhandy senang banget naik Getek! Seru, katanya. Meski pertamanya agak-agak gimana. Mama juga, agak-agak gimanaaa gitu. Gimana-gimana terus.  Bukan takut naik Geteknya, tapi karena di dasar geteknya itu kan rada-rada terbenam air. Kaki harus rada diangkat dikit. Soalnya pas dilihat… ughhh ada banyak binatang air yang kecil-kecil tapi suka merayap! Mirip-mirip kalajengking… tapi bukan sih. Mungkin… kalajengkol, hihihi.

(Sssh... tapi kalau pas pulangnya sih udah terbiasa, Rhandy malah bergaya di atas Getek, liat aja tuh fotonya. Hehehe, gaya n ganteng juga ya anak Mama & Bapak ini. Towewewew!)


Ke Pemukiman 
Adat Kampung Pulo Dulu, Ya...

Tak lama kemudian… setelah tiba di tepi daratan. Tebak ada apa? Ya, 100! Ada pemukiman adat Kampung Pulo (yaheyalah liat judul…). Jadi, sebelum mencapai Candi Cangkuang… Rhandy, Mama, dan Bapak harus melewati Kampung Pulo dulu.

Perkampungan ini ternyata sebuah kampung kecil. Super kecil. Iya, super kecil… karena satu kampung itu cuma 6 buah rumah dan 6 kepala keluarga. Susunan kampungnya itu… 3 rumah di sebelah kiri dan 3 rumah di sebelah kanan, yang saling berhadapan. Terus, ada 1 masjid di sana.

Bapak memotret-motret kampung ini dari berbagai arah. Kadang dari balik semak-semak. Heiiiy, ngapain sampai ke semak-semak segala, ya? Hihihi. Begitu ada seseorang yang bisa ditanya-tanya, Bapak ajak ngobrol n tanya-tanya deh tuh. Lalu… mereka mulai bergosip. Gosip is Garut Oh SIP! Hahaha… bisa aja ya Mama. Bisa, dooong! J

Dan Mama hawar-hawar mendengar gosipan mereka…

Gini… katanya nih, sudah menjadi ketentuan adat, jumlah rumah dan kepala keluarga itu HARUS 6 orang. Lalu, kedua deretan rumah itu tadi enggak boleh ditambah ataupun dikurangi. Nah, lho! Gimana atuh kalau nanti-nanti ada penghuni yang mau menikah atau punya anak? Kan bisa bertambah, kaaan… 

Ini dia penjelasannya: Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah… paling lambat 2 minggu setelah pernikahan, harus meninggalkan rumah dan keluar dari lingkungan rumah adat Kampung Pulo ini. Naaah… tapi ia bisa kembali ke rumah adat, bila salah satu keluarga ada yang meninggal dunia, dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat. Gitu…

Coba kita lihat foto nini-nini ini. Namanya Nini Ijah.  Nini Ijah itu penghuni tertua di Kampung Pulo! Wow!

Abis motret Nini Ijah… eeeh, Bapak malah minta difoto di teras rumah Kampung Pulo, hehehe! 

 
Abis itu… Rhandy malah pengen cepat-cepat lihat Candi Cangkuangnya. Rhandy tuh kalau jalan, maunya paling depaan terus. Ninggalin Mama dan Bapak. Rhandyyyy… heiii, tungguuu!!!



H E I I I I I I... 
T U N G G U ... 
R H A N D Y Y Y!


Museum Candi Cangkuang
Candi Cangkuang semakin dekat. Tapi sebelum mencapai candinya, ke museum dulu. Museumnya sih kecil. Tapi pasti sejarahnya besa…aar. Di dalam museum ada koleksi naskah kuno.
Naskah Alquran, lukisan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, foto-foto pemugaran dan benda-benda bersejarah lainnya. 



Sementara Bapak ngobrol-ngobrol sama guide museumnya, Rhandy dan Mama duduk-duduk istirahat di teras museum sambil buka perbekalan. Minum susu, sluuurrrp… sluuurrrp! Makan cemilan, nyam, nyam, nyam! Dan… foto-foto narsis… cheers! Lihat tuh, Rhandy difoto tapi sambil nyobain peluit yang dibeli sebelum naik Getek tadi!

Hehehe! Tadi belum terceritakan ya tentang peluitnya! IYA! Suara peluitnya kalau ditiup tuh bodor, aneh, sekaligus superkreatif pisan! Kayak suara tangisan bayi yang rungsing: houweeek, houweeek! Padahal, bahan-bahan peluitnya paling juga terbuat dari bekas tutup botol sama sendal… bekas! 


Heeeiy, bekas? Iiiih, bekas jalan-jalan ke mana aja yaaa??? (#siapkan karbol, densol, lisol, alkohol, risol sama… jengkol???). 


Pssst, ada Makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad…
Assalamu’alaikum… iya, di sini ada makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad. Nih, ada fotonya. Sejarahnya gini… katanya, Eyang dkk beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau bernama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII. Wow, udah lama banget, ya! 

Embah Dalem Arif Muhammad dkk berasal dari Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia, sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang.

Waktu itu, di Kampung Pulo sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Tapi, lama-lama… Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam. Alhamdulillah, ya… sesuatu....


Ini Dia Candi Cangkuang!
Aaakhirnyaaah… Rhandy, Mama, dan Bapak sampai juga di Candi Cangkuang!

Hmmm, Candi Cangkuang itu ternyata tidak begitu besar. Tepatnya… kecil, hehehe! Dasarnya itu berbentuk bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5 meter.  Terus, tinggi candi sampai ke puncak atap… 8,5 meter. Bentuknya bersusun-susun gitu deh. Di sepanjang tepian setiap susunan ada hiasan semacam mahkota-mahkota kecil. Lihat… Mama, Rhandy, dan Bapak langsung foto-foto deh bergantian. Lalu melipir-lipir ke sisi kiri candi, dan… jepret, foto lagi. Keren kan foto-fotonya…

Eh… di dalam candinya ada ruangan kecil dan gelap. Tapi dipagari teralis besi yang terkunci. Wuaaah… ada arca Syiwa! 






 
Oh… Ini yang Namanya Pohon Cangkuang. Baru Tahu…
Kita baru tahu, nama ‘Cangkuang’ itu diambil nama tanaman sejenis pandan, lho. Tanaman Cangkuang ada di sekitar museum. 



Yeaaay! Rhandy Beli Souvenir!
Kalau habis wisata-wisata itu, kayaknya ada yang kurang kalau belum beli oleh-oleh khas tempat yang dikunjungi, ya kan? IYA aja dwehhh! Enggak jauh dari lokasi Candi Cangkuang banyak penjual-penjual souvenir. Ada tas, dompet, gantungan kunci, candi cangkuang ukuran mini, topi, patung domba Garut, ada juga getek-getekan hehehe… maksudnya Getek dalam bentuk mini! Mama sih beli topi-topi. Kalau Rhandy? Ya beli Getek mini dongsss!***



Ternyata mau jungkirrr... kok bisa ya hehehe!

Rabu, 17 Juli 2013

Pengalaman Pertama Naik Pesawat

Nah.... Sekarang aku mau cerita tentang pengalaman pertamaku naik pesawat terbang. Ya, ini benar-benar pengalaman pertamaku lho, makanya surprise juga rasanya buat aku sekaligus ya deg-deg-an pastinya, hehehe :))


Baiklah cerita dimulai ketika Papa telah membeli tiket pesawat Garuda Indonesia rute Bandung - Denpasar pergi-pulang. Kata Papa, Papa membelinya lewat website Garuda. Mudah, karena kita tinggal memilih tanggal kapan mau berangkat dan pulangnya. Setelah itu pembayaran dilakukan melalui debet kartu kredit. Papa tinggal memasukkan nomor kartu kredit Papa dan pihak Garuda memotong biaya sesuai harga tiket lewat online. Tidak sampai satu menit, tiket sudah dikirimkan pihak Garuda ke e-mail Papa untuk di-print.Pada saat di bandara nantinya, print tiket tinggal ditunjukkan saja kepada petugas. Mudah sekali ya? Belinya tidak perlu antri-antri seperti antri sembako, hehehehe.....



O ya. Mengapa Papa membeli tiket pesawat Garuda untuk keberangkatan dari Bandung? Bukankah lebih dekat bila naik pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta karena kami tinggal di Tangerang Selatan? Ow, ternyata kata Papa biar kami sekalian berkunjung ke rumah Enin (Enin itu panggilan buat nenekku) di Bandung. Dan sepulang dari Bali, aku mau sekalian didaftarkan ke Klinik Khitan Dokter Seno di Bandung untuk dikhitan. Selain itu, ya ke Bandungnya pakai mobil sendiri biar gampang untuk pergi kemana-mana di Bandungnya.


Nah singkat cerita, tibalah hari yang ditentukan. Kami kemudian pergi ke Bandara Husein Sastranegara. Jadwal keberangkatan pesawat adalah Jam 12.15, dan kami sudah tiba di bandara pukul 10.30. Sengaja kami berangkat lebih awal dari rumah Enin di Cigadung, Bandung Utara supaya tidak terkena macet. Kadang-kadang kan di jalanan kita tidak bisa menebak. Suka ada saja hambatannya. Itu yang kami hindari agar tidak terlambat dan biar bisa istirahat dulu sambil menunggu jam keberangkatan.


Sampai di Bandara Husein, kulihat bandara ini kok kecil ya? Aku pikir besar seperti Bandara Soekarno-Hatta. Aku memang pernah ke Bandara Soekarno-Hatta waktu menjemput Mama pulang dari Medan dan Surabaya. Di Bandara Husein tidak terlalu banyak penumpukan penumpang. Lalu kami masuk dan lapor untuk mendapatkan nomor tempat duduk sekaligus menyerahkan bagasi. Setelah itu kami naik ke ruang tunggu di lantai dua. Dari sini kita bisa melihat pesawat-pesawat yang sedang diparkir maupun yang baru mendarat atau akan terbang. Lumayan juga sambil menunggu ya sambil foto-foto pesawat juga hehehe.

 

Waktu penerbangan pun tiba. Kami para penumpang tujuan Denpasar dipanggil untuk segera naik ke pesawat. Aku, Mama, dan Papa dapat tempat duduk berdampingan dan aku memilih tempat di dekat jendela. Aku memilih kursi di dekat jendela supaya bisa melihat awan dan pemandangan ke bawah. 


Pesawat Garuda yang aku naiki kata Papa jenisnya adalah Boeing 737-800. Nomor registrasinya adalah PK-GFC. Papa bilang, semua pesawat Indonesia diberi kode dua huruf di depan yaitu PK (Papa Kilo), lalu tanda minus dan tiga huruf di belakangnya. Katanya ini ketentuan internasional untuk pesawat sipil. Setiap negara memiliki kode tersendiri dan PK adalah tanda untuk pesawat sipil Indonesia. Tapi aturan ini tidak berlaku untuk pesawat militer. Pesawat militer punya kode tersendiri lagi yang dibuat oleh masing-masing negara.


Nah, setelah duduk di kursi pesawat, aku diajari Mama untuk memasang sabuk keselamatan (safety belt) dan bagaimana cara melepasnya. Ternyata mudah juga.Aku langsung pakai saja supaya tidak lupa. Mengenakan sabuk keselamatan ini merupakan aturan standar dalam dunia penerbangan supaya kalau terjadi apa-apa dengan pesawat, misalnya guncangan keras, kita tidak terlempar-lempar tetapi tetap melekat di kursi.


Begitu pesawat sudah mulai melakukan persiapan untuk penerbangan, para pramugari di pesawat juga memberi tahu tata cara keselamatan di pesawat. Di pesawat Garuda ini kita tinggal melihat tayangan video di televisi yang ada di depan tempat duduk kita. Pramugari menyampaikan cara bagaimana memasang sabuk pengaman, memberitahukan pintu-pintu darurat untuk keluar dari pesawat bila terjadi musibah, dan cara bagaimana menggunakan masker oksigen bila tekanan udara di pesawat tiba-tiba drop. O ya, pramugari juga meminta semua penumpang untuk mematikan telepon genggam terlebih dahulu sebelum pesawat lepas landas.


Tidak terasa, sambil diiringi musik yang mengalun pelan, pesawat sudah tiba di ujung landasan untuk persiapan mengambil ancang-ancang lepas landas atau take off. Pilot kemudian memberitahukan kepada pramugari bahwa pesawat akan lepas landas. Setelah itu tiba-tiba suara mesin bergemuruh lebih kencang dan pesawat seperti akan berlari. Aku cukup kaget dan sedikit takut. Pramugari duduk di kursi yang menghadap ke penumpang. Dan benar saja, pesawat langsung meluncur di landasan dengan dorongan mesin yang kuat. Bunyi roda menggelinding di landasan cukup terasa dan setelah itu tiba-tiba pesawat naik dan terasa melayang. Wah, aku duduk sambil memegang erat sandaran tangan di kursi. 


Pesawat terus menanjak dan menembus awan tipis. Kadang rasanya pesawat seperti mau turun lagi. Waduh, gimana ini, pikirku. Tapi itu ternyata perasaan kita saja. Lalu pesawat berbelok dan menanjak lagi. Setelah beberapa menit barulah lampu di pesawat menyala dibarengi bunyi ting. Itu tandanya kita sudah bisa melepaskan sabuk keselamatan. Tapi demi keselamatan, sabuk bisa tetap digunakan. Pesawat pun mulai terbang mendatar dan pramugari mulai berdiri dari tempat duduknya untuk menlaksanakan tugasnya.


Seperti aku bilang tadi, enaknya di pesawat Garuda salah satunya karena ada televisinya. Aku pun langsung memilih tayangan yang mau ditonton. Tinggal ditunjuk saja pakai jari telunjuk. Ada film, ada musik, ada komedi, ada pengetahuan, dan lainnya.


Aku langsung memilih lagu. Kulihat Mama dan Papa juga sama, pertama memilih-milih lagu. Kulihat ternyata Papa memilih lagu Afgan. Ah, Papa sukanya lagu Afgan. Kalau aku memutar lagu-lagu rock yang energik, hehehe. Aku tidak suka lagu melow. Yang aku suka lagu-lagu yang nge-beat. Afgan juga ada sih lagu yang nge-beat seperti "Katakan Tidak", "Without You", dan "Demi Aku dan Kamu". Nah, kalau lagu-lagu itu aku suka.


Tempat duduk di pesawat Garuda bernuansa cokelat. Warna ini terasa membuat penumpang nyaman. Tidak stres hehe. Kulihat di kabin pesawat, para penumpang kebanyakan juga menyalakan telavisinya. Sementara pramugari mulai menyiapkan makanan. Wah, ternyata betul, di pesawat Garuda kita dapat makan. Ya, makan siang karena waktu itu pas jam makan siang juga. Tidak menunggu lama, aku langsung menyantap makanan yang disediakan. Hmmm...enak juga makanan yang dihidangkan. Ada nasi dan ayam. Kebetulan aku suka makan daging ayam, hehe.


Karena udara di luar cukup terik dan awan terlihat mengilap, aku pun segera menutup jendela pesawat. Setelah makan dan minum, di pesawat aku melanjutkan nonton tv dan kali ini memutar film yang aku suka.


Tidak terasa penerbangan ke Denpasar sudah hampir tiba. Kubuka jendela pesawat dan mulai kulihat lagi pemandangan awan yang tampak ada langit birunya dan tidak silau. Tulisan PK-GFC terlihat di bagian atas sayap sebelah kanan. Pramugari memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Penerbangan ke Bali ditempuh dalam waktu kurang lebih satu setengah jam.


Saat mau mendarat, rasanya hampir sama dengan mau lepas landas. Sabuk keselamtan dipasang, sandaran tempat duduk ditegakkan, meja makan dilipat, dan jendela dibuka. Tidak lama berselang kecepatan pesawat melambat. Pilot menurunkan ketinggian pesawat dan dukkk...dukkk..., eh suara apa itu? Ternyata kata Papa itu suara roda dikeluarkan dari badan pesawat. Dengan roda ini pesawat akan mendarat, meluncur di landasan, dan berhenti.


Bandara Ngurah Rai, Bali  lebih besar dari Bandara Husein. Di sini terlihat pesawat-pesawat besar dari luar negeri yang sedang diparkir. Bali memang menjadi tujuan wisata banyak orang termasuk turis asing. Makanya liburan kali ini aku juga ke Bali. Masa orang dari luar negeri sudah datang ke Bali, sedangkan aku yang warga negara Indonesia belum pernah, xixixixi.....:D


Setelah turun dari pesawat kami dijemput oleh bis yang akan mengantarkan penumpang ke gedung terminal kedatangan. Jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun demi keamanan dan kenyamanan, para penumpang diharuskan naik bis yang disediakan oleh bandara dan tidak jalan kaki.


Sampai di gedung terminal kedatangan, para penumpang kemudian menunggu bagasi masing-masing. Bagasi diturunkan dari pesawat dan penumpang tinggal mencari bagasinya masing-masing di tempat yang telah disediakan.Tempatnya unik, seperti sabuk raksasa yang panjang dan bergerak berputar. Namanya conveyor belt.


Bagasi tidak akan tertukar karena telah diberi nomor di bagasinya. Nomor yang sama ditempelkan juga di tiket yang kita bawa dan nati akan diperiksa oleh petugas. Setelah semua beres kami pun keluar dari bandara dan telah dijemput oleh sopir yang akan mengantarkan kami liburan selama seminggu di Bali.


Ah, akhirnya aku menginjakkan kakiku di Bali. Dan aku bisa melihat langsung keindahan Pulau Dewata ini dengan pantai dan pemandangannya. Jadinya aku tidak hanya membaca dari buku-buku pelajaran atau majalah, tapi aku datang sendiri untuk melihat langsung.


Begitulah ceritaku, pengalaman naik pesawat untuk pertama kalinya. Lumayan menegangkan, tapi juga menyenangkan.


Setelah masa liburan di Bali habis, kami kembali ke bandara untuk pulang ke Bandung. Kali ini pesawat Garuda yang digunakan nomor registrasinya adalah PK-GMO.


Seperti saat terbang ke Bali, dalam penerbangan ke Bandung juga para penumpang mendapat makan siang. Penerbangan ke Bandung terasa lebih cepat. Mungkin karena kembali ke kampung halaman, hehehe.


Setelah sekali naik pesawat, rasanya aku ingin naik pesawat lagi. Tentu saja untuk terbang ke tempat wisata lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Tapii... kalau diajak ke Bali lagi, ya aku tetap mau... :P


Pesawat Garuda menurutku enak. Mendaratnya juga enak, tidak terasa menyentak. Pilotnya mungkin sudah terlatih dan pesawatnya bagus.


Sampai di Bandung udara terasa lebih sejuk dibandingkan di Bali. Di Bali enaknya memang panas sehingga kita bisa bermain-main di pantai dan kulihat juga banyak turis asing berjemur. Kalau dingin atau hujan, pasti tidak ada yang mau main di pantai kan? Xixixixix.....


Bandung dan Bali memiliki ciri khas masing-masing. Aku suka dua-duanya. Di Bali banyak tempat wisata yang bisa kami kunjungi dan jalanannya tidak terlalu macet. Kecuali di sekitar Pantai Kuta.


Kalau di Bandung jalanan sudah lebih macet lagi, apalagi pada hari Sabtu dan Minggu karena banyak orang-orang dari luar kota datang ke Bandung untuk berakhir pekan dan masing-masing orang membawa mobil. Ah, berarti termasuk kami dong, huppss... :D


Dari Bandara kami kembali ke rumah Enin, dan memberikan oleh-oleh dari Bali yang khusus kami beli buat Enin dan saudara-saudara kami yang lain. Setelah itu aku buka rekaman-rekaman video dan foto hasil liburan di Bali sambil tiduran..... Wow... senangnya. Aku dan Mama tertawa-tawa melihat rekaman video sewaktu di Bali.


Begitulah cerita yang bisa kubagi di sini. Nanti aku tulis lagi pengalaman-pengalaman lainnya....... Salam!!!