Kamis, 18 Juli 2013

Jalan-Jalan di Kota Garut


Saat Rhandy 
ke Candi Cangkuang…

Pernah mendengar nama Candi Cangkuang? Itu, lho… candi yang ada Garut. Tepatnya sih di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Nah… Desa Cangkuang ini dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat. Antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Rhandy pernah ke sana tuh sama Mama dan Bapak. Mau tahu enggak ceritanya? Mau aja deh, ya…? Lumayan seru lah!
Jadi ceritanya gini… suatu hari (24 Maret 2012), singkat cerita Rhandy, Mama dan Bapak udah ‘jleg’ aja di depan plang merah yang bertuliskan “Selamat Datang di Cagar Budaya Candi Cangkuang”. Habis gitu… ya beli tiket masuk dong. Untuk dewasa Rp 3.000, anak-anak Rp 2.000. Murah banget, ya? Kalau bule sih… Rp 5.000.


Serunya, Rhandy Naik Getek…

Begitu masuk, eh… ternyata enggak langsung ada candinya. Tapi untuk mencapai Candi Cangkuang itu harus naik Getek dulu. Dan untuk naik Getek, bayar lagi Rp 10.000 dulu per orang. Baiklah…

Bentar, bentar… tahu enggak apa itu Getek? Bukan, bukan ‘geli’ apalagi ‘gatal-gatal’… itu mah jamur atuh. DAH, JAMUR!!! Getek itu… semacam rakit yang terbuat dari bambu dan ada atapnya, dan dikendalikan dengan sebilah bambu yang panja…aaang sekali. Kalau sekilas sih mirip saung yang bisa berjalan eh… berlayar! 


Hmmmfhhh… baru duduk di bangku bambu geteknya saja, waaah… sudah terlihat pemandangan danaunya terhampar luas. Karena saking asyiknya melihat-lihat alam sekitar, menyeberangi danau pun  jadi enggak kerasa… tahu-tahu udah sampai lagi. Cepat banget! Lebih cepat dari bayangan Lucky Luke!



Hohoho… Rhandy senang banget naik Getek! Seru, katanya. Meski pertamanya agak-agak gimana. Mama juga, agak-agak gimanaaa gitu. Gimana-gimana terus.  Bukan takut naik Geteknya, tapi karena di dasar geteknya itu kan rada-rada terbenam air. Kaki harus rada diangkat dikit. Soalnya pas dilihat… ughhh ada banyak binatang air yang kecil-kecil tapi suka merayap! Mirip-mirip kalajengking… tapi bukan sih. Mungkin… kalajengkol, hihihi.

(Sssh... tapi kalau pas pulangnya sih udah terbiasa, Rhandy malah bergaya di atas Getek, liat aja tuh fotonya. Hehehe, gaya n ganteng juga ya anak Mama & Bapak ini. Towewewew!)


Ke Pemukiman 
Adat Kampung Pulo Dulu, Ya...

Tak lama kemudian… setelah tiba di tepi daratan. Tebak ada apa? Ya, 100! Ada pemukiman adat Kampung Pulo (yaheyalah liat judul…). Jadi, sebelum mencapai Candi Cangkuang… Rhandy, Mama, dan Bapak harus melewati Kampung Pulo dulu.

Perkampungan ini ternyata sebuah kampung kecil. Super kecil. Iya, super kecil… karena satu kampung itu cuma 6 buah rumah dan 6 kepala keluarga. Susunan kampungnya itu… 3 rumah di sebelah kiri dan 3 rumah di sebelah kanan, yang saling berhadapan. Terus, ada 1 masjid di sana.

Bapak memotret-motret kampung ini dari berbagai arah. Kadang dari balik semak-semak. Heiiiy, ngapain sampai ke semak-semak segala, ya? Hihihi. Begitu ada seseorang yang bisa ditanya-tanya, Bapak ajak ngobrol n tanya-tanya deh tuh. Lalu… mereka mulai bergosip. Gosip is Garut Oh SIP! Hahaha… bisa aja ya Mama. Bisa, dooong! J

Dan Mama hawar-hawar mendengar gosipan mereka…

Gini… katanya nih, sudah menjadi ketentuan adat, jumlah rumah dan kepala keluarga itu HARUS 6 orang. Lalu, kedua deretan rumah itu tadi enggak boleh ditambah ataupun dikurangi. Nah, lho! Gimana atuh kalau nanti-nanti ada penghuni yang mau menikah atau punya anak? Kan bisa bertambah, kaaan… 

Ini dia penjelasannya: Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah… paling lambat 2 minggu setelah pernikahan, harus meninggalkan rumah dan keluar dari lingkungan rumah adat Kampung Pulo ini. Naaah… tapi ia bisa kembali ke rumah adat, bila salah satu keluarga ada yang meninggal dunia, dengan syarat harus anak wanita dan ditentukan atas pemilihan keluarga setempat. Gitu…

Coba kita lihat foto nini-nini ini. Namanya Nini Ijah.  Nini Ijah itu penghuni tertua di Kampung Pulo! Wow!

Abis motret Nini Ijah… eeeh, Bapak malah minta difoto di teras rumah Kampung Pulo, hehehe! 

 
Abis itu… Rhandy malah pengen cepat-cepat lihat Candi Cangkuangnya. Rhandy tuh kalau jalan, maunya paling depaan terus. Ninggalin Mama dan Bapak. Rhandyyyy… heiii, tungguuu!!!



H E I I I I I I... 
T U N G G U ... 
R H A N D Y Y Y!


Museum Candi Cangkuang
Candi Cangkuang semakin dekat. Tapi sebelum mencapai candinya, ke museum dulu. Museumnya sih kecil. Tapi pasti sejarahnya besa…aar. Di dalam museum ada koleksi naskah kuno.
Naskah Alquran, lukisan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, foto-foto pemugaran dan benda-benda bersejarah lainnya. 



Sementara Bapak ngobrol-ngobrol sama guide museumnya, Rhandy dan Mama duduk-duduk istirahat di teras museum sambil buka perbekalan. Minum susu, sluuurrrp… sluuurrrp! Makan cemilan, nyam, nyam, nyam! Dan… foto-foto narsis… cheers! Lihat tuh, Rhandy difoto tapi sambil nyobain peluit yang dibeli sebelum naik Getek tadi!

Hehehe! Tadi belum terceritakan ya tentang peluitnya! IYA! Suara peluitnya kalau ditiup tuh bodor, aneh, sekaligus superkreatif pisan! Kayak suara tangisan bayi yang rungsing: houweeek, houweeek! Padahal, bahan-bahan peluitnya paling juga terbuat dari bekas tutup botol sama sendal… bekas! 


Heeeiy, bekas? Iiiih, bekas jalan-jalan ke mana aja yaaa??? (#siapkan karbol, densol, lisol, alkohol, risol sama… jengkol???). 


Pssst, ada Makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad…
Assalamu’alaikum… iya, di sini ada makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad. Nih, ada fotonya. Sejarahnya gini… katanya, Eyang dkk beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau bernama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII. Wow, udah lama banget, ya! 

Embah Dalem Arif Muhammad dkk berasal dari Kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia, sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang.

Waktu itu, di Kampung Pulo sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Tapi, lama-lama… Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam. Alhamdulillah, ya… sesuatu....


Ini Dia Candi Cangkuang!
Aaakhirnyaaah… Rhandy, Mama, dan Bapak sampai juga di Candi Cangkuang!

Hmmm, Candi Cangkuang itu ternyata tidak begitu besar. Tepatnya… kecil, hehehe! Dasarnya itu berbentuk bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5 meter.  Terus, tinggi candi sampai ke puncak atap… 8,5 meter. Bentuknya bersusun-susun gitu deh. Di sepanjang tepian setiap susunan ada hiasan semacam mahkota-mahkota kecil. Lihat… Mama, Rhandy, dan Bapak langsung foto-foto deh bergantian. Lalu melipir-lipir ke sisi kiri candi, dan… jepret, foto lagi. Keren kan foto-fotonya…

Eh… di dalam candinya ada ruangan kecil dan gelap. Tapi dipagari teralis besi yang terkunci. Wuaaah… ada arca Syiwa! 






 
Oh… Ini yang Namanya Pohon Cangkuang. Baru Tahu…
Kita baru tahu, nama ‘Cangkuang’ itu diambil nama tanaman sejenis pandan, lho. Tanaman Cangkuang ada di sekitar museum. 



Yeaaay! Rhandy Beli Souvenir!
Kalau habis wisata-wisata itu, kayaknya ada yang kurang kalau belum beli oleh-oleh khas tempat yang dikunjungi, ya kan? IYA aja dwehhh! Enggak jauh dari lokasi Candi Cangkuang banyak penjual-penjual souvenir. Ada tas, dompet, gantungan kunci, candi cangkuang ukuran mini, topi, patung domba Garut, ada juga getek-getekan hehehe… maksudnya Getek dalam bentuk mini! Mama sih beli topi-topi. Kalau Rhandy? Ya beli Getek mini dongsss!***



Ternyata mau jungkirrr... kok bisa ya hehehe!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar